Pages

Subscribe:

hit conter

Pages

Minggu, 31 Juli 2011

[Review] UFC Personal Trainer

Xbox 360 / PlayStation 3 / Nintendo Wii : by : Dimas Aryo Nugroho | 29/07/2011
Apa yang gamer pikirkan ketika mendengar akronim “UFC”? UFC bukanlah pesaing franchise fried chicken yang sangat terkenal itu. Tetapi UFC adalah Ultimate Fighting Championship yang merupakan sebuah kompetisi tarung bebas profesional yang amat terkenal di Amerika. Well, mungkin kita belum terlalu familiar dengan UFC, namun THQ dengan baik hati memperkenalkannya pada kita dengan membawa pelatih pribadi dari dunia UFC ke ruangan kita, tentunya dengan dukungan motion gaming saat ini.
UFC Personal Trainer sebenarnya kurang tepat jika dikategorikan sebagai sebuah game murni, karena disini menitikberatkan pada latihan fisik yang mendekati real ketimbang unsur fun. Di awal game, UFC Personal Trainer akan menggali informasi tentang kondisi dan data fisik gamer seperti umur, berat, dan tinggi badan. Lalu gamer akan dibawa ke sebuah tes yang akan mengukur tingkat kebugaran tubuh dengan melakukan sit up, push up dan jumping jack dalam jangka waktu tertentu.
Setelah melakukan fitness test, menu utama akan muncul. Ada enam pilihan menu utama yaitu Workouts, Activites, Programs, Quick Workout, Multiplayer, dan Player Tracker. Workouts adalah yang kita biasa sebut dengan campaign dalam game kebanyakan. Disini gamer akan menjalani serangkaian latihan fisik yang tingkat kesulitannya akan meningkat secara bertahap. Versi Xbox 360 total ada kurang lebih 70 jenis latihan berbeda, jauh lebih banyak dari versi Wii atau PS3. Dalam Workouts maupun mode lain, gamer akan dibimbing oleh tiga karakter asli dari dunia UFC: Mark Dellagrotte, Greg Jackson, dan Javier Mendez.
Pilihan latihan yang banyak dan variatif akan menjauhkan gamer dari rasa bosan. Secara garis besar ada dua jenis latihan, yaitu latihan yang membutuhkan gamer untuk merebahkan diri, dan mengharuskan gamer untuk berdiri. Sit up, push up, dan latihan yang sejenis masuk dalam kategori pertama, sedangkan aktivitas meninju dan menendang sansak adalah latihan kategori dua.
Selain mode Workouts, dalam Programs gamer bisa dengan leluasa menentukan latihan untuk mengurangi berat badan, atau melatih anggota badan tertentu dengan limitasi waktu 30 dan 60 hari. Dalam Workouts maupun Programs, progress gamer akan bisa dilihat lewat Player’s Tracker yang menyediakan banyak grafik, statistik dan tabel yang merepresentasikan progress latihan gamer secara lengkap. Selain memusingkan, menyempatkan diri untuk membacanya cukup baik untuk memantau perkembangan latihan dari waktu ke waktu. 
Secara garis besar memang simpel, game ini mengharuskan gamer untuk mengikuti gerakan yang dicontohkan atau diperintahkan oleh trainer. Sekilas tak ada yang salah bukan? Tapi coba kita lihat isu-isu teknis yang membuat game ini jauh dari kata memuaskan.
Versi PS3 dengan Move, apalagi hanya 1 controller Move, adalah yang terburuk. Ps Eye hanya akan menangkap gerakan dari Move, bukan gerakan tubuh secara keseluruhan. Jadi gamer harus menggenggam Move saat melakukan sit up, push up, dan latihan lainnya. Karena itu pula, THQ tak memberi variasi gerakan sebanyak Kinect.
Versi Xbox 360 jauh lebih baik ketimbang kompetitornya karena Kinect memang cocok jika disandingkan dengan game berjenis ini. Sama seperti interface pada PS3, pada bagian kanan bawah layar akan ada pad hexagonal dengan karakter manusia diatasnya yang menggambarkan gerakan tubuh gamer secara real. Posisi gamer harus senantiasa diatas pad tersebut.
Secara umum, Kinect mampu menangani apa yang dibutuhkan game ini, baik dari segi membaca gerakan maupun kontrol dengan suara. Masalah akan timbul ketika aktivitas latihan yang membutuhkan gamer untuk merebahkan diri. Kinect sering kali miss membaca gerakan karena gamer “hilang” dari pandangan. Well, kalau gamer punya ruangan yang luas, pastinya tidak masalah.
Kesalahan fatal pada game ini terletak pada kualitas voice acting sang trainer. Yang tertarik pada game ini, mungkin orang-orang yang tak ingin repot pergi ke gym dan menyewa pelatih pribadi hanya untuk mengolah tubuh secara interaktif dan terkontrol. Namun ketika memainkan UFC Personal Trainer selama beberapa waktu, hampir dipastikan runtuhlah sudah niat mengolah tubuh. Aspek sound tak hanya membuat tubuh gamer berkeringat, namun juga emosi gamer turut serta menjadi panas. Trainer yang harusnya memberi semangat, justru mengendurkan niat untuk latihan.
Voice actor nampaknya tak dibekali dengan variasi script yang banyak, jadi naskah yang diperdengarkan hanya itu-itu saja. Ketika gamer gagal melakukan gerakan berkali-kali, trainer akan mengucapkan kalimat yang sama berkali-kali pula. Ketika berhasil meraih pencapaian tertentu, trainer pun terkesan tak mengapresiasi jerih payah yang kita lakukan. 
Grafik yang dihadirkan cukup standar. Interface menu sederhana dan terorganisir dengan baik. Setting tempat saat latihan dibuat menyerupai suasana gym asli yang minim permainan warna. Karakter trainer cukup smooth dalam mencontohkan gerakan, dipadu dengan detil kaos dan celana yang terlipat-lipat mengikuti gerak tubuh sang trainer. Namun ternyata di beberapa waktu, gerakan trainer terlihat repetitif bak seonggok cyborg. Harus diakui, tak banyak yang bisa diharapkan dari segi grafik untuk game jenis ini.
Untuk mode Multiplayer sendiri bukanlah sesuatu yang spesial. Jangan harap gamer bisa melakukan latihan bersama gamer lain dengan satu trainer layaknya senam di Minggu pagi. Inti mode Multiplayer adalah gamer hanya akan mengadu skor untuk jenis latihan yang dikehendaki.
Editor’s Tilt 4,5
Sebenarnya agak sulit menilai game ini secara keseluruhan. Versi Kinect jauh lebih superior dibanding konsol lainnya. Tidak ada masalah dari segi grafik maupun penggambaran menu latihan (Player’s Tracker). Namun game ini gagal membangun minat gamer untuk melakukan olah fisik secara terprogram karena masalah teknis utama yakni Sound. At least, game ini berhasil dalam satu hal: membuat kita berkeringat. Satu lagi, jangan harap gamer menemukan jurus-jurus maut ala pertarungan UFC, sebab disini fighting bukanlah intinya.
VGI Kontributor - DIMAS ARYO NUGROHO

Kamis, 28 Juli 2011

[Review] F.3.A.R.



Xbox 360 / PlayStation 3 / PC : by : henzai kamiokande | 8/07/2011
Jika gamer sempat jatuh hati dengan film-film horror asal Jepang di beberapa masa silam, bisa jadi kalian juga telah memainkan game F.E.A.R. di kesempatan yang sama. F.E.A.R. adalah sebuah game first-person shooter yang dirilis hanya untuk PC pada tahun 2005 lalu. Di dalamnya, kita akan berhadapan dengan sebuah organisasi yang jahat.
Well, apa yang berbeda dengan game lainnya? Dan kenapa dikait-kaitkan dengan film-film horror asal Jepang? Game tersebut memperkenalkan sesosok gadis kecil dengan aura menakutkan bernama Alma Wade, yang penampilan dan gerak-geriknya mirip dengan masa kecilnya Sadako, sosok menakutkan dari salah satu serial horror Jepang yang terkenal, Ringu (The Ring).
F.E.A.R. juga dipenuhi dengan atmosfer yang menyeramkan dan mampu mengageti pemainnya secara konstan, namun gameplay-nya dapat dikatakan cukup basi. Sebuah sekuel pun menyusul untuk rilis di PC dan konsol, namun sayangnya mendapatkan banyak review yang tak memuaskan. Kurang menakutkan, jalan cerita aneh, dan gameplay FPS yang lagi-lagi masih basi.
Kini judul ketiganya, F.3.A.R., mencoba untuk melanjutkan jalan cerita yang makin aneh tentang Alma dan kedua puteranya, yaitu Point Man dan Paxton Fettel. Sekuel, yang masih mengusung genre FPS ini, tampaknya berusaha untuk bergerak dengan melandaskan dirinya pada jalan cerita. Namun dengan jalan cerita yang sudah terasa tak masuk akal sedari awal, sepertinya hal itu sulit terwujud.
Meski telah memainkan keseluruhan game berlabel F.E.A.R. yang pernah dirilis hingga kini, bisa jadi tetap bakal kesulitan untuk memahami akan apa yang sebenarnya terjadi. Ok, kita akan berperan sebagai Point Man, salah seorang putera Alma, yang terjebak dalam perseteruan tanpa akhir dengan saudaranya, Paxton, yang kini telah berujud bak roh atau sesosok hantu. Terserah anggapan kalian.
Secara gameplay, F.3.A.R. tak bisa disebut sempurna, namun mampu menjaga kerapatannya. F.3.A.R bisa dibilang dapat menyamai game FPS bagus lainnya di pasaran. Yep, penyuka genre FPS tak bakal merasa kecewa jika dihadapkan pada gameplay dari game ini. Terasa seimbang sekaligus fun, terlbih dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki karakter kita, misalnya melambatkan waktu.
Namun cepat atau lambat juga membuatnya terlihat bermain aman. Sepertinya tak ada elemen gameplay yang benar-benar baru di dalam F.3.A.R., hampir semuanya tampak merupakan produk turunan dari game lain. Tapi, di saat kita bisa memegang dua Uzi pada kedua tangan demi menembaki puluhan orang kerasukan yang berniat mengeroyok, kekuatiran itu pasti menguap.
F.3.A.R. bakal terasa sangat fun sepanjang permainan. Namun terlepas dari itu, F.3.A.R. juga memiliki masalah yang senada dengan seri sebelumnya. Bahkan unsur menakutkannya tampak makin jauh berkurang, membuat game ini jadi terasa, yah. Datar. Saat atmosfer seram itu datang memang bakal terasa cool, namun karena kejarangan pemunculannya yang seperti disengaja malah membuatnya jadi tak berkesan random.
Jika dibandingkan, mungkin action kita dalam permainan jadi terasa lebih cool. Kesadisan yang menghiasi lokasi-lokasi F.3.A.R. harusnya bisa membuat kita takut, namun semuanya jadi terasa sekedar numpang lewat. Elemen kagetan yang jarang membuat F.3.A.R. tampak tanggung sebagai sebuah game horror, terlebih dengan dipilih-pilihnya lokasi mana yang bakal membuat kita kaget.
Di dalam game ini, kita akan berlarian ke sana dan sini secara linear, melewati beberapa lokasi, dengan sesekali menjumpai beberapa sekuen penting, serta ditakut-takuti oleh Alma. Selain itu, tak banyak yang bisa diharapkan. Jika kalian baru berkenalan dan langsung memainkan F.3.A.R dengan tanpa memainkan seri lainnya, mendingan lewatkan jalan ceritanya saja dan langsung action.
Kita akan mendatangi beberapa lokasi yang sebenarnya cukup asyik saat memainkan campaign, namun bakal tak mengerti mengapa dan kenapa harus bisa sampai ke lokasi-lokasi itu. Menuju akhir dari game, mungkin malah bakal membuat kalian sudah tak peduli lagi dengan ending yang bakal dicapai. Jika menginginkan sebuah game dengan jalan cerita yang baik, F.3.A.R. bukanlah untukmu.
Sementara untuk tampilan grafis dan suguhan audio, tampaknya F.3.A.R. lumayan bisa untuk mengikuti zaman. Dengan menyebut kata lumayan, sesungguhnya game tersebut patut malu. Tampilan grafisnya tak bisa disebut bagus, juga tak bisa disebut jelek. Terlebih dengan terjadinya satu hingga dua detik perpatahan framerate yang cukup sering.
Rata-rata lokasi dibangun bagai jalur panjang yang semi-linear. Sementara untuk suguhan audio, tak banyak yang mendapat nilai merah. Mungkin hanya pada saat melawan sekelompok tentara saja yang terkadang sedikit mengesalkan. Mereka sering meneriakkan kata-kata yang sama selama beberapa kali, bahkan di waktu yang sama. Tak jarang, teriakannya tidak sesuai dengan kondisi.
Tampaknya F.3.A.R. memang diniatkan untuk mendorong kita mencoba memainkan sesi multiplayer-nya, yang terasa sulit untuk ditentukan bagus atau jeleknya jika mau jujur. Co-op mode, baik offline atau pun online, terasa menyenangkan. Btw, mode tersebut bakal tampil split-screen jika dilakukan secara offline. Kita dapat memilih untuk bermain sebagai Point Man atau Paxton.
Selanjutnya, dengan menggunakan kedua karakter tersebut, pemain dapat saling bekerja sama untuk menyelesaikan campaign. Sementara saat memainkan mode tersebut secara online, kita bakal melihat perbandingan antara mana pemain yang benar-benar menolong kita atau malah ‘merampok jatah’ sekaligus merepotkan kita. Yang belakangan malah membuat gameplay jadi lebih seru.
Untuk mode-mode lainnya dalam sesi multiplayer, tampak biasa saja. Yah, setidaknya mereka menambahkan sesuatu yang baru. Dijuduli F**king Run!, mode ini akan membuat gamer bersama tiga pemain lainnya mesti bergerak maju secara konstan demi menghindari sebuah tembok maut, berujud bak semacam awan gelap berukuran raksasa, yang siap menyantap di belakang kita.
Jika tembok tersebut bisa melahap seorang pemain, maka semua pemain ikut tewas. Sementara mode lainnya, sekedar lumayan. Kalian tentunya sudah sangat familiar untuk memainkan deathmatch atau pun horde dengan berbagai variasinya pada game lain, bukan? Bisa jadi, hanya F**king Run! saja yang membuat kita bertahan untuk memainkan sesi multiplayer di F.3.A.R..
Editor’s Tilt - 7,5
Hadirnya F.3.A.R. terasa patut disayangkan. Bahkan, mungkin hadirnya keseluruhan game berlabel F.E.A.R. juga patut disayangkan. Apa yang membuat saya merasakan itu? Well, terus terang serial ini berkesan ketinggalan zaman. Mungkin jika F.3.A.R. rilis di beberapa tahun lalu, game tersebut bisa jadi meraih sukses hebat dan mendapuk prestasi sebagai salah satu game bagus.
Namun di saat ini, di masa banyak game FPS yang bagus telah bermunculan, konsep dan gameplay yang ditawarkan oleh F.3.A.R. terasa basi. Secara tersirat, teknologi atau apa pun yang tampil dalam F.3.A.R. rasanya sama jika dibandingkan dengan game FPS lainnya yang rilis di tahun 2008. Apa yang bagus di saat itu, belum tentu masih cocok untuk ditawarkan lagi di saat ini. Semoga ke depannya bisa lebih baik. (HKD)