Pages

Subscribe:

hit conter

Pages

Sabtu, 22 Oktober 2011

[Review] Driver: San Francisco

PlayStation 3 / Xbox 360 / PC : by : Si Tukang Review | 20/10/2011
Setelah genre sandbox dipopulerkan oleh Rockstar melalui serial GTA-nya, hampir semua produser berlomba-lomba mengeluarkan variannya akan game tersebut. Ubisoft sendiri memiliki variannya yang lumayan populer: Driver. Sesuai judulnya Driver adalah sebuah game yang lebih berfokus pada aksi balap mobil (atau menggunakan mobilmu menghentikan kriminalitas) ketimbang campuran mengemudi dan baku tembak ala serial-serial game genre sandbox lainnya. Apakah ini merupakan nilai positif atau negatif bagi game ini?
Setelah Driver Trilogy Ubisoft membawa franchise ini ke arah yang berbeda dalam Driver: Parallel Lines. Game tersebut menghilangkan karakter Tanner yang telah menjadi maskot serial ini. Sungguh sayang banyak gamer merasa bahwa game rilisan tahun 2006 itu kurang memuaskan mereka. Setelah lima tahun vakum akhirnya Ubisoft memantapkan hati mereka untuk mengembalikan sosok jagoan kepada pertikaian klasik antara sang polisi Tanner dan sang penjahat Jericho!
Dari sub-judul San Fransisco saja kamu semestinya sudah tahu kalau game ini bakalan ber-setting di kota San Fransisco. Ubisoft benar-benar serius mempersiapkan game ini sehingga seluruh kota San Fransisco bisa kamu jelajahi, walaupun pada awalnya ada beberapa bagian kota yang tidak dapat kamu akses. Kendaraan-kendaraan yang tersedia bagi Tanner juga macam-macam jenisnya mulai dari sedan mini sampai truk gandeng jumbo. Hebatnya lagi, semua kendaraan ini memiliki feel yang berbeda saat dikemudikan.
Dalam Driver: San Fransisco kamu memang ‘terkurung’ dalam mobilmu karena Ubisoft tidak memberimu kesempatan untuk turun ataupun menjalankan misi dengan kaki. Lantas bagaimana kamu bisa berganti mobil? Apa hanya sesuai yang diberikan misi saja? Tentu saja tidak. Game ini dengan bangga memperkenalkan sistem baru bernama Shifting; sebuah gameplay yang memampukan Tanner berpindah-pindah tubuh ke mobil-mobil lain.
Beberapa dari kalian mungkin garuk-garuk kepala sambil berpikir “Shifting? Teleportasi ke mobil lain? Apa-apaan ini?”. Sebenarnya konsep Shifting ini tidak seorisinil yang digembar-gemborkan oleh Ubisoft kok. Kamu pernah menonton The Matrix? Ingat tidak bagaimana para agen memiliki kemampuan untuk merasuki manusia-manusia saat menyadari target ada di dekat mereka? Yah kira-kira seperti itu. Kalau dalam dunia game sistem ini saya ingat terakhir kali diimplementasikan dalam Parasite Eve: The 3rd Birthday dengan nama Overdrive.
Gameplay ini semula membuat saya pesimis. Jangan-jangan ini akan membuat game menjadi kelewat gampang? Dalam Parasite Eve: The 3rd Birthday saya praktis hampir tidak pernah Game Over karena memiliki persediaan nyawa tak terbatas dengan merasuki orang-orang di sekitar. Kekhawatiran ini sempat terbukti pada awal-awal game di mana saya sering tidak perlu repot-repot mengejar kriminal tetapi tinggal mengshift ke mobil dari arah berlawanan untuk menabrakkannya kepada musuh. Toh perlahan tapi pasti tingkat kesulitan game ini menjadi makin tinggi dan Shifting menjadi sebuah bagian yang integral dengan gameplay-nya.
Ada sebuah misi misalnya yang mengharuskanmu menghentikan sepuluh truk yang dipasangi peledak dalam waktu kurang dari tiga menit! Kalau kamu tidak luwes melakukan kemampuan Shifting maka buang saja jauh-jauh impian menyelesaikan misi tersebut!
Tapi bagaimana si John Tanner bisa memiliki sebuah kemampuan supernatural semacam ini? Ini menurutku merupakan kelemahan dari game Driver: San Fransisco. Di awal game sang kriminal Jericho meloloskan diri dari mobil penjara dan menabrak mobil yang dikendarai oleh John Tanner. Tabrakan hebat itu mengakibatkan Tanner jatuh ke dalam koma yang berkepanjangan. Dalam komanya ini entah bagaimana Tanner bermimpi mengenai kota San Fransisco dan bagaimana dia memiliki kemampuan Shifting ini. Apa para developer di Ubisoft ini fansnya film Inception semua ya?
Misi dalam game ini saya kategorikan menjadi tiga: Story Mission, City Mission, dan Optional Mission. Optional Mission dalam game ini ditandai di map dengan warna biru. Misi-misi ini jumlahnya ada puluhan dan kamu bebas mau menyelesaikannya atau tidak. Menyelesaikannya tentu saja memberimu hadiah-hadiah poin yang berfungsi untuk membeli kendaraan baru maupun melakukan upgrade. Tipe misi kedua adalah City Mission. Misi-misi ini ditandai dengan marker berwarna kuning yang harus kamu lakukan untuk membuka Story Mission. Story Mission – seperti bisa ditebak – merupakan misi yang memajukan cerita dalam permainan.
Editor’s Tilt 8.5
Bagiku, Driver: San Fransisco merupakan sebuah game yang menyenangkan. Konsep Shifting membuat game ini terasa berbeda dengan genre sandbox kebanyakan. Grafis yang bagus (semua mobil yang kamu kendarai bisa ringsek dan hancur! Kota yang bisa kamu jelajahi luar biasa besar!),voice acting yang solid dan kocak, dan waktu permainan yang lumayan panjang membuatku bisa memaafkan ceritanya yang agak-agak absurd.
Si TUKANG REVIEW
VGI Kontributor


[Review] Dead Rising 2: Off the Record

Xbox 360 / PlayStation 3 / PC : by : Andy Chan | 20/10/2011
Capcom kembali menghadirkan game Dead Rising, namun ternyata ini bukanlah game baru, melainkan sebuah re-imagining dari Dead Rising 2. Premisnya masih sama: Fortune City, 72 jam, ribuan zombiedan sebuah konspirasi untuk diungkap. Namun apa yang terjadi kalau Chuck Greene bukanlah karakter utama dari Dead Rising 2?

Sang fotografer pembasmi zombie telah kembali (sambil makan Pretzel)
I've covered wars, you know.Frank West telah kembali! Namun dia terlihat sedikit berbeda dari Frank West di Dead Rising pertama, karena kini dia terlihat lebih ... makmur. Meskipun Frank terlihat seperti itu, dia tetap Frank West, pahlawan Wilamette Mall yang tidak takut melawan lebih dari 72,000 zombie.
Bukan Frank West namanya kalau tidak membawa kamera kemana-mana. Kini dia juga telah mendapatkan trik-trik baru, bahkan dia bisa menciptakan senjata seperti yang dilakukan oleh Chuck. Pilihan pembuatan senjata di game ini tidak mengecewakan, karena ada banyak berbagai combo cardbaru yang tentunya akan memuaskan kita dalam membantai para zombie.

Chuck mengendara motor, sementara Frank bergulat dengan zombie
Jika kalian menganggap kalau Off the Record masih sama dengan Dead Rising 2, kalian akan menemui kejutan. Memang kalau dilihat dari jalan ceritanya, Frank seperti "dipaksakan" untuk menggantikan Chuck. Namun jalan ceritanya tidak 100% sama seperti yang dilakukan oleh Chuck, karena Frank adalah seorang fotografer, bukan pembalap motor.

Best Friends Forever!
Seperti Dead Rising pertama, kita akan menemui berbagai momen di cerita yang bisa difoto oleh Frank. Tergantung dari hasil foto tersebut, kita akan bisa mendapatkan sejumlah PP.  Kita bahkan bisa berfoto bareng zombie.
Salah satu hal yang sebenarnya cukup mengganggu di Dead Rising 2 adalah kebutuhan untuk memberikan Zombrex kepada anak perempuan Chuck. Frank tidak perlu memberikan Zombrex kepada Katey, namun berhubung dia sudah "infected", dia tetap perlu mencari Zombrex setiap hari. Yang pasti, Frank tidak perlu balik ke safehouse untuk menggunakan Zombrex, dia bisa menggunakannya di mana saja.

Ya, si kembar masih tetap ada
Welcome to Uranus Zone
Terdapat sedikit peningkatan pada kualitas grafis dibandingkan dengan Dead Rising 2, namun sebagian besar karakter masih menggunakan aset yang diambil dari Dead Rising 2, hanya ada sedikit aset-aset baru. Satu daerah yang benar-benar baru adalah Uranus Zone, sebuah taman bermain yang bertemakan luar angkasa.

Playground baru yang penuh zombie
Uranus Zone, seperti layaknya taman bermain, penuh dengan atraksi seperti yang ada di karnaval. Kita bisa bermain di berbagai macam shooting range yang disediakan, mulai dari menembak UFO sampai menembak aliens, serta berbagai atraksi berbahaya lainnya. Selain itu tersedia pula kendaraan baru untuk dinaiki oleh Frank.

Kendaraan yang agak "norak"
Beberapa lokasi survivors dan psikopath juga sudah dirubah oleh Capcom, sehingga kita bisa merasakan game yang sedikit lebih "baru". Tingkat kesulitan game pun lebih tinggi, terlihat dari paralooters yang jauh lebih agresif (dan bisa mencuri senjata yang kita pegang) daripada para looters diDead Rising 2.

Chuck dan .. uh ... Katey.
Kangen dengan Chuck? Jangan khawatir, kita bisa menemui Chuck di Off the Record. Jika kita bermainco-op dengan pemain lain, maka Frank akan ditemani oleh Chuck. Selain co-op, kita juga bisa menemui Chuck dalam cerita, meskipun dia terlihat sedikit "berbeda".
Ingin bermain kompetitif dengan pemain lain? Sayang sekali, karena Capcom menghilangkan modeTerror is Reality pada Off the Record. Sebagai pengganti, ada sebuah mode baru yang tersedia diDead Rising 2: Off the Record.
This is my vacation!
Sebuah mode yang sempat hilang di Dead Rising 2 adalah sandbox mode. Pada mode sandbox ini, Frank bisa dengan bebas menjelajahi seluruh Fortune City tanpa perlu pusing dengan time limit yang ada di cerita. Selain itu, hampir semua tempat di Fortune City juga sudah dibuka, sehingga kita tidak perlu seperti Dead Rising 2, menjalankan cerita sampai kita bisa meng-unlock shortcut ataupun pintumaintenance room dan underground access.

Bebas menjelajah Fortune City
Sandbox mode ini bisa diakses kapan saja, bahkan ketika kita sedang memainkan cerita sekalipun. Jadi kalau suatu saat kita terpentok pada suatu boss dan tidak ada cara lain untuk melewatinya, kita bisa melompat ke mode Sandbox dan mengumpulkan PP di sini. Tapi jangan anggap sandbox mode itu mudah. Seluruh survivor (termasuk para psikopath) kini adalah musuh yang akan menyerang Frank.

Challenge ada bermacam-macam, salah satunya memasang topeng servbot pada zombie
Mode sandbox ini juga memperkenalkan fitur baru: Challenge. Kita bisa meng-unlock Challenge dengan memenuhi kondisi yang diberikan oleh masing-masing Challenge, misalnya membunuh sejumlahzombie. Dengan menyelesaikan Challenge, kita akan bisa mendapatkan uang dan PP lebih banyak untuk digunakan di Story Mode. 
Editor's Tilt - 9,0
Seperti inilah Dead Rising 2 seharusnya dibuat! Capcom lagi-lagi mengeluarkan game "baru" untuk dibeli oleh para fans, padahal pada intinya, ini masih game yang sama dengan fitur-fitur tambahan yang menggiurkan, apalagi banyak orang yang sempat kecewa dengan hilangnya Infinity Mode di Dead Rising 2. Capcom memang tahu bagaimana cara memeras uang dari para fans!

Costume baru dari Uranus Zone
Sayangnya, Off the Record masih memiliki loading time yang lama serta berbagai glitches yang ada diDead Rising 2, di mana kita bisa tersangkut di suatu tempat, malah ada beberapa glitches baru. Namun secara garis besar, Off the Record adalah improvement yang patut dicoba. (ZBT)

Selasa, 18 Oktober 2011

Crosshair V Formula Product Overview


The most powerful AMD hardware available

The Crosshair V Formula supports the latest 32nm AMD Socket AM3+ multi-core processors with up to 8 native CPU cores while delivering better overclocking capabilities with less power consumption. Built to take advantage of the AMD 990FX chipset, it supports the 5.2GT/s HyperTransport™ 3.0 (HT 3.0) interface speed and dual PCI Express™ 2.0 x16 graphics.


For the first time, native NVIDIA® 3-way SLI™ is available on an AMD motherboard. The Crosshair V Formula is able to run both multi-GPU SLI or CrossFireX configurations for extreme graphic acceleration.

Back to top

Sound with clarity

SupremeFX X-Fi 2 - Play with ultra-real cinematic in-game surround sound!
SupremeFX X-Fi 2 delivers incredible gaming audio experiences to ROG die hards. It features EAX 5.0 and OpenAL for ultra-real cinematic in-game audio, while also supporting THX TruStudio PRO branding so games, music and movies sound way better! SupremeFX X-Fi 2 also implements gold-plated jacks and high quality capacitors to ensure high definition adventures in audio.

Back to top

Frag more and get fragged less

GameFirst - The speed you need to pwn
GameFirst manages the flow of traffic according to your needs so that you can still listen to online music, download and upload files, and IM with your buddies without sacrificing the low ping times you need to pwn your opponents.


Intel Gigabit LAN - Experience blazing fast network connectivity!
The LAN solution from Intel has been long known to have a better throughput, lower CPU utilization as well as better stability. With the onboard Intel Gigabit LAN, the ultimate network experience is delivered to users like never before.



Back to top

Drive your system to the limit!

Extreme Engine Digi+ - Powerful combination of analog and digital design elements
Extreme Engine Digi+ equipped with high performance digital VRM design can easily achieve the ultimate performance with adjustable CPU PWM frequency. It expedites heat dissipation and achieves better electric conduction keeping critical components reliable. Now you'll be able to push your spanking new AMD CPU to the limit, hitting benchmark scores that others only dream of. Extreme Engine Digi+ balances the need for voltage and the desire for rock solid performance to bring the ultimate user experience.
UEFI BIOS - Graphic User Interface BIOS platform  
Exclusive to ASUS motherboards, the UEFI (Unified Extensible Firmware Interface) is the first ever mouse-controlled graphical BIOS interface designed with dual selectable modes. It delivers a user-friendly interface that goes beyond traditional keyboard-only BIOS controls to enable more flexible and convenient input with quick scrolling. Users can easily navigate the UEFI BIOS with the smoothness of their operating system. Quick and simple overclocking and setup sharing is facilitated by the F12 hotkey BIOS snapshot feature. The exclusive EZ Mode displays frequently-accessed setup info, while the Advanced Mode is for experienced performance enthusiasts that demand far more intricate system control, including detailed DRAM information.


ROG Connect -
Plug and Overclock - Tweak it the hardcore way!
Monitor the status of your desktop PC and tweak its parameters in real-time via a notebook—just like a race car engineer—with ROG Connect. ROG Connect links your main system to a notebook through a USB cable, allowing you to view real-time POST code and hardware status readouts on your notebook, as well as make on-the-fly parameter adjustments at a purely hardware level. ROG Connect even allows you to flash your BIOS from the notebook, which means that you can OC your system to the max without any fear of permanently bricking the motherboard due to a corrupted BIOS.




Back to top

Sabtu, 01 Oktober 2011

[Review] Gears of War 3

Xbox 360 : by : LeeYunRain | 28/09/2011
Mungkin boleh kita katakan bahwa Epic Games telah merancang salah satu kesuksesan terbesarnya ketika mereka memperkenalkan Gears of War (Gears) untuk kali pertamanya pada hampir lima tahun lalu. Cliff Bleszinski dan timnya berhasil menciptakan sebuah game yang punya gameplay sangat playable (baik bagi hardcore maupun casual gamers) dengan grafis juara kelas dan cerita kuat dalam setting bernuansa sci-fi yang dibawakannya. Begitu mengesankan hingga judul ini tidak diragukan lagi telah dijadikan sebagai suatu standar baru untuk genre action/shooter semenjak saat itu. Dan hal tersebut pun berlanjut ketika Gears of War 2 (Gears 2) dirilis tahun 2008 lalu. Sekuel game ini kembali menjadi alasan dari banyak orang untuk mempunyai sebuah Xbox 360 di rumah.
Sementara banyak gamers memuji kebolehan Epic dalam menciptakan Gears sebagai game dengan gameplay dan grafis yang punya kualitas sebaik ini, sambutan yang sama baiknya pun diterima oleh aspek penceritaan dan karakterisasi di dalamnya. Gears membawakan ceritanya dari sudut pandang jagoan seorang prajurit COG (Coalition of Order Governments) Marcus Fenix dan kesatuan Delta Squad-nya dalam peperangan melawan makhluk asing yang disebut Locust. Tema cerita sci-fi yang sebenarnya sudah bukan tipikal baru, namun tetap mampu menjual lewat eksplorasi cerita yang digarap mendalam layaknya sebuah film box office, yang turut didukung setting dan para karakter yang juga merupakan daya tarik. Disini Marcus bukanlah satu-satunya karakter yang terkesan hidup, sebagaimana rekan-rekannya yang juga kuat secara emosional di dalam cerita.
Seusai ending yang menutup game keduanya, tidak sedikit fans yang berharap banyak akan pengembangan selanjutnya dari serial yang diekspektasikan tuntas sebagai trilogi ini. Dan harapan tersebut pun direalisasikan dengan Gears of War 3 (Gears 3) tahun ini. Apakah sekuel ini dapat melampaui standar yang telah dibuat oleh dua game terdahulu?
Karen Traviss, seorang penulis cerita sci-fi yang juga penulis dari sejumlah versi novel adaptasi Gears, mengambil alih tugas penceritaan yang sebelumnya diemban Joshua Ortega pada game keduanya. 18 bulan setelah perlawanan terhadap para Locust yang di Jacinto, Marcus dan pasukan COG yang tersisa harus berhadapan dengan ancaman baru yang tidak lain adalah hasil mutasi para Locust yang disebut Lambent. Bukan sekedar mengenai perjuangan COG untuk tetap bertahan hidup, sekuel kali ini turut membawa cerita ke tingkatan yang lebih pelik. Marcus harus mencari keberadaan Adam Fenix, ilmuwan sekaligus ayah kandungnya sendiri yang diyakini memegang kunci untuk mengakhiri konflik yang tengah terjadi.
Di samping dari cerita yang tidak ingin banyak saya ceritakan, Gears 3 kembali menjamu para penggemar action dan genre third-person shooter dengan berporos pada kekuatan gameplay yang masih mengandalkan resep sukses dari dua game sebelumnya. Kelanjutan ini untuk sekali lagi kembali menampilkan tembak-tembakan dari tampilan sudut pandang over-the-shoulder dengan mekanisme squad dan cover-based yang saling menyokong sebagai kekuatan di dalam gameplay. Sama secara garis besar, namun berikut dengan sejumlah improvisasi yang dilakukan untuk membuatnya lebih dari yang sudah ada.
Setelah mendapatkan chainsaw duel dan meat shield sebagai dua di antara sejumlah hal yang diperkenalkan Gears 2, Gears 3 kembali melakukan beberapa peningkatan dari segi gameplay dengan: Campaign co-op yang sekarang mendukung hingga empat gamers (baik dengan AI atau gamers lain), karakter playable yang bukan cuma Marcus atau Dom (Anya!!), musuh-musuh dan senjata baru, dengan sejumlah mekanisme yang sebenarnya bernilai minor namun tetaplah menarik untuk dilihat.
Peran AI terhadap elemen squad-based pun sukses membuat aksi gameplay lebih realistis untuk game ketiga ini. Musuh yang cukup cerdas dan dinamis dalam melakukan flanking pun mendapat perlawanan yang setara dari rekan-rekan setim yang memang membantu di kala menghadapi serangan musuh. Tambahan tiga rekan dalam Campaign benar-benar membuat aksi kali ini menjadi sesuatu yang lebih dari duet Marcus dan Dom di Gears 2 dengan beberapa karakter playable yang di antaranya dapat pula berganti untuk dimainkan menurut alur skenarionya. Lebihnya lagi, kali ini turut disertakan mekanisme untuk bertukar senjata dengan rekan setim di tengah pertempuran sebagai salah satu tambahan yang ditawarkan.
Para Locust yang kembali bukanlah satu-satunya ancaman yang perlu dikhawatirkan. Mereka memang kembali, bahkan dengan Kantus yang sekarang makin merepotkan dengan upgrade berupa tambahan armor. Akan tetapi, masalah lain yang perlu diwaspadai gamers juga datang dari para Lambent yang memegang porsi banyak di akhir trilogi ini. Lambent sebagai jenis musuh yang berbeda dari para Locust turut memberikan variasi tersendiri. Berbeda dengan Locust yang cenderung melakukan spawning dari Emergence Hole, sebagian Lambent kerap datang dari apa yang disebut Lambent Stalk, yang cara untuk menghentikan produksinya adalah dengan menghancurkan bagian pod makhluk tersebut. Selain berbagai Lambent yang jenisnya bakalan banyak ditemukan, ada pula Lambent Leviathan, hasil mutasi dari Leviathan yang dilihat dari segi ukurannya mungkin lebih cocok jadi lawan Kratos di God of War.
Dengan musuh-musuh baru, persenjataan yang baru juga telah dipersiapkan guna melengkapi pilihan senjata yang sudah ada di seri sebelumnya. Di antaranya dapat kita lihat Retro Lancer yang merupakan versi jadul dari Lancer Assault dengan bayonet yang masih berupa pisau, OneShot sebagai varian sniper rifle baru yang dapat menghabisi apapun dalam satu tembakan saja, Sawed-Off Shotgun yang mematikan untuk jarak dekat, Cleaver yang tidak lain adalah golok raksasa yang biasa dibawa para Locust Butcher, dan Vulcan Cannon, sejenis gatling gun yang cuma dapat digunakan dengan bantuan dari orang kedua. Sejumlah pilihan senjata yang cukup menarik, ditambah lagi dengan executioner move yang baru untuk masing-masing senjata. Tidak hanya itu, Gears 3 juga menghadirkan fitur baru di dalam gameplay dengan memperkenalkan Silverback dan Loader, dua jenis mecha yang ikut menambah unsur keren pada game ini.
Gears 3 kembali memperlihatkan kualitas visual Unreal Engine 3 yang telah dipoles Epic sebagai Unreal Engine 3.5. Seperti salah satu kekuatan dari kedua game pendahulunya, kualitas grafis in-game-nya tetaplah merupakan sesuatu yang memang memukau. Desain yang keren, sinematisasi yang dramatis, efek-efek yang memberikan kesan sungguhan, efek gore yang digemari para pemain dewasa, obyek dan bagian environment yang mendetil, dengan visualisasi background yang nampak bagus. Sejumlah hal yang kiranya mendapat perhatian berkecukupan dari tim pengembangnya. Meski begitu, agak disayangkan kalau grafis game ini tidak luput dari sedikit nilai minus berupa bagian dengan tekstur kasar (bayangan, sebagai contohnya), kualitas wajah Unreal yang tidak banyak mengalami peningkatan, dan CG sequence yang kurang halus apabila diperhatikan. Terlepas dari beberapa hal minor grafis semacam itu, kualitas grafis game ini secara keseluruhan tetaplah merupakan standar di kelasnya. Terlebih lagi berkat minimnya masalah grafis yang dialami secara teknis. Walau dengan efek-efek yang seringkali terlihat memenuhi layar, Gears 3 tetap berjalan dengan mulus.
Untuk segi suaranya, game ini kembali dengan membawa sejumlah hal yang sebelumnya telah mengukuhkan kualitas aspek satu ini. Sound effect yang tepat, voice acting yang menghidupkan setiap karakternya, dan juga penggunaan musik-musik tematis yang sukses dalam membawakan atmosfer suasananya. Fans dapat mendengar kembali suara musik dan efek yang berkesan familiar, dengan tidak meninggalkan pula sentuhan humor yang sudah tidak asing dalam bentuk celetukan para karakter.
Lebih dari game sebelumnya, Gears 3 menampilkan Campaign yang lebih panjang dengan kisaran durasi sekitar 15 jam untuk diselesaikan secara to-the-point, yang artinya tidak dengan upaya melengkapi berbagai collectibles dan achievements yang tentunya boleh saja kalian coba kumpulkan. Selain dari Campaign standar yang ditawarkan, ada pula Campaign secara Arcade yang dapat dimainkan dengan berbasis pada mekanisme skor. Asyiknya, kedua macam Campaign ini sama-sama dapat kalian mainkan secara multiplayer sampai dengan empat pemain.
Di luar dari kedua mode Campaign, sejumlah mode multiplayer pun kembali dengan membawa adanya beberapa hal baru yang cukup menambahkan nilai lebih bagi aspek ini untuk yang ketiga kalinya. Game kali ini memperkenalkan Horde Mode yang baru dan Beast Mode, mode yang belum pernah dibawakan dalam kedua game pertamanya. Dalam Horde Mode yang baru, kalian akan berperang sebagai COG yang dapat mengumpulkan uang dari menghabisi para Locust. Uang ini pada nantinya dapat dipergunakan untuk memasang jebakan, turret dan semacamnya di sekitar markas yang terkesan agak memiliki sentuhan genre RTS. Sedangkan pada Beast Mode, untuk pertama kalinya gamers dapat memainkan berbagai jenis Locust mulai dari Ticker, Savage Drone, Kantus, Boomer, bahkan hingga Berserker, yang pilihannya bakal terbuka semakin banyak seiring dengan uang yang terkumpul. Dua mode yang cukup menambah variasi gameplay dan mungkin jadi alternatif ketika Team Deathmatch atau sejumlah mode competitive sudah mulai dirasa membosankan.
Untuk memaksimalkan nilai aspek multiplayer-nya, Epic juga telah menyediakan dukungan berupa dedicated server dan sistem host yang merupakan peningkatan dari Gears 2. Alhasil, pencarian game pun semakin mudah dan lag jadi semakin minim. Dengan begini, multiplayer tentunya jadi lebih mendukung untuk ditekuni. Saatnya untuk giat meningkatkan level dan membuka lebih banyak award, medals, rank, dan berbagai unlockables. Tetap meneruskan apa yang telah dihidupkan dari sebelumnya, aspek multiplayer kembali menjadi alasan kuat bagi jutaan gamers yang menggemari Gears, terlebih dengan kualitas multiplayer yang semakin ditingkatkan dan patut diakui sebagai satu yang terbaik saat ini.
Mencari Brothers seperjuangan untuk merasakan serunya berperang Gears 3? Kalian bisa mulai bergabung dengan thread diskusi Gears 3 di forum Xbox VGI. Brothers to the end...

Editor’s Tilt 9,0

Mengulang hal-hal yang sudah pernah dilakukan dari sejumlah prekuel tentunya bukanlah sesuatu yang salah untuk diimplementasikan dalam sebuah sekuel. Gears of War 3 memasukkan kembali berbagai kualitas aspek yang membuat kedua game terdahulunya terasa begitu berkesan, dengan melakukan sejumlah improvisasi yang membuatnya semakin ideal sebagai sekuel. Rancangan gameplay dan multiplayer yang tetap pada pakemnya, dengan penekanan kelanjutan cerita dan penyertaan sejumlah hal baru yang hukumnya wajib dimiliki sebuah sekuel. Sementara para penggemar dapat menemukan kembali segala nilai lebih yang membuat mereka jatuh cinta pada Gears, para pemain baru pun dapat merasakan sendiri untuk kali pertamanya berbagai hal yang membuat Gears menjadi sebesar sekarang.
Sebagai sesuatu yang dapat diharapkan dari akhir trilogi Gears of War, Gears 3 telah membawakan penutupan ceritanya dengan cukup baik. Dengan sentuhan yang lebih emosional dan sejumlah dramatisasi cerita yang mampu meninggalkan kesan tersendiri di hati para penggemarnya, ending kali ini sepertinya memang bisa saja menjadi akhir untuk Marcus Fenix. Namun, hal tersebut rasanya bukanlah jaminan. Dengan setting Gears yang masih menyisakan kemungkinan cerita lain yang cukup potensial untuk diangkat, tentu bukanlah hal mustahil bagi fans untuk melihat perluasan atau pengembangan seri yang lebih lagi pada nantinya. Memang bukan tidak mungkin. Akan tetapi, kalian bisa simpan dulu spekulasi tersebut untuk nanti. Sekarang, saatnya kembali ke medan perang bersama Brothers. Let’s finish this... (LYR)

[Review] Black Rock Shooter: The Game

PSP : by : henzai kamiokande | 26/09/2011
Black Rock Shooter: The Game telah menimbulkan hype tersendiri sejak diumumkan keberadaannya. Animasi pembukaannya yang keren itu bisa jadi adalah salah satu yang terbaik, yang pernah dimunculkan untuk sebuah game PSP. Namun apakah hanya dengan tampilan animasi yang mengkilap saja sudah cukup jika membicarakan sebuah game?
BRS: The Game merupakan salah satu dari sekian banyak inkarnasi atas karakter bernama Black Rock Shooter (BRS). Di dalam game ini, BRS diperkenalkan sebagai sesosok klon yang berkekuatan super dan terbangun di masa depan yang penuh peperangan. Saat terbangun, dia memutuskan untuk menolong sekelompok orang yang berjuang demi melawan serangan alien yang menyerbu Bumi.
Di balik serangan itu, kelak bakal diketahui adanya sesosok lain yang berkekuatan super dan mirip dengan BRS, sebagai dalangnya. Gameplay dari BRS: The Game akan menempatkan kita sebagai BRS, yang bakal menghabisi para alien yang menyerang dalam berbagai misi. Rata-rata misi akan membuat kita berlari-lari antar area menuju objektif yang diberikan sembari menghadapi lawan.
Hal tersebut juga menjadi sarana bagi kita untuk menaikkan level dan mendapatkan skill serta gear untuk BRS. Sekuens battle pada RPG ini akan terjadi saat melakukan kontak dengan lawan dan membuat kita mesti menyasarkan target terlebih dulu ke mereka, selanjutnya barulah serangan bisa dilakukan dengan Rock Cannon.
Lawan bisa mendekati kita, baik bergerak dengan lambat mau pun cepat, atau hanya berputar-putar dan menembaki kita. Kebanyakan serangan yang dilakukan lawan bisa diperkirakan dengan mudah, sehingga membuat kita dapat mengelakkan atau mempertahankan diri tepat pada waktunya. Menarik untuk di awal, namun bakal terasa repetitif nantinya.
Btw, kita tak dapat sering-sering mengelak, mempertahankan diri, atau pun langsung menembak secara membabi buta ke lawan, karena bakal menaikkan Overheat Bar. Saat hal itu terjadi, maka kita hanya bisa menembakkan sedikit peluru ke arah lawan. Sementara jika akhirnya mendapatkan status Overheat, kita hanya bisa berdiam sembari menunggu hilangnya status tersebut.
Untuk alternatifnya, kita dapat menggunakan active skill dan item, yang tentunya tak bakal menaikkan Overheat Bar. Namun begitu, active skill memiliki semacam waktu cool-down tersendiri, sementara untuk item hanya tersedia dalam jumlah yang terbatas. Passive skill juga ada, hanya saja baru terbuka satu per satu sepanjang game, yang dapat diaktifkan sebelum memasuki battle.
Bergerak secara real-time, RPG ini cenderung mengedepankan sisi action sembari meminjam sedikit elemen dari game shooter. Membuat kita bakal sering mengelakkan diri dari serangan lawan. Sementara adanya fitur Overheat dalam battle membuat kita lebih memikirkan strategi untuk tak hanya menyerang dan menyerang terus, namun juga bertahan.

Lawan-lawan juga tak akan selalu berlaku sama. Makin dalam memainkan game ini, lawan yang dihadapi bakal semakin terasa menantang untuk dihadapi, terlebih dengan karakter boss. Namun begitu, tak diperlukan banyak-banyak menekan tombol saat menghadapi karakter boss, karena pada dasarnya simpel dan kita jarang mengalami kekalahan.
Setelah sebuah misi selesai akan dilanjutkan ke misi lainnya hingga sebuah stage selesai, terlepas dari kita ingin mengikuti jalan cerita atau sebuah side quest. Keseluruhan stage nantinya dapat kita akses lagi melalui misi-misi dalam Free Hunting. Perbedaan dengan stage-stage yang biasa adalah ditiadakannya save point sebelum kita melakukan boss battle.
Walau sebenarnya game berulang kali membuat kita kembali lagi ke mission menu untuk melanjutkan game kadang terasa membuat suntuk, hal tersebut memberikan semacam pilihan yang tepat untuk berada di sebuah handheld system. Yep, karena kita bisa memilih untuk menyudahi permainan dan melanjutkannya lagi di waktu yang kita mau. Pun jika kita ingin mengulangi misi itu.
Selain itu, game ini juga menawarkan gameplay lainnya, yang membuat BRS bisa menaiki sebuah sepeda motor nan badass demi membabati lawan-lawan yang berkeliaran di sepanjang jalan. Namun sebenarnya setelah dirasa-rasa, gameplay tersebut hanyalah sekedar tempelan saja. Sekuens battle dan kebanyakan ekplorasi yang dilakukan terasa tanggung, malah sempit.
Hal tersebut didukung besarnya area yang mesti dikelilingi dan kurangnya interaksi yang bisa kita lakukan dengan lingkungan in-game. Bagaimana dengan boss battle? Beberapa di antaranya memang bakal cukup menantang, namun jika dihitung-hitung malah lebih banyak yang terasa mudah untuk kita selesaikan.
Game ini kadang terasa mencoba mengeksplor gameplay, dari melarikan sepeda motor dengan lebih cepat sebelum mendapatkan serangan hingga menyelamatkan semacam target dalam waktu tertentu. Sayangnya, kebanyakan dari gameplay akan membuat kita hanya berjalan dari satu ke titik lain sembari menghabisi seluruh lawan yang ada.
Tampilan grafisnya cenderung standar. Hal yang cukup disayangkan bagi sebuah game dengan animasi pembukaan sebegitu mengkilap. Jadi terasa sepertinya sang pengembang tak terlalu berusaha keras untuk memberikan tampilan grafis in-game yang pantas.
Setidaknya ada poin positif dari tampilan grafis tersebut, waktu loading terhitung cepat. Mungkin kurang dari 3 detik yang dibutuhkan game ini untuk tiap kali melakukan loading. Beberapa cutscene memang dimunculkan, namun terasa kosong karena tak terlalu membeberkan detil cerita.
Anehnya, nanti kita mesti membukanya dengan kondisi tertentu. Tak seperti game lainnya, yang langsung memunculkan seluruh cutscene di gallery setelah kita menamatkannya. Apakah itu untuk menambah replay value? Berbicara tentang itu, game ini juga menambahkan beberapa misi lagi setelah kita berhasil menamatkannya, yang sebenarnya kurang memikat.
Berbicara untuk segmen musik, selain lagu yang mengiringi animasi pembukaan, musik-musik yang melatari sepanjang game lebih berkesan ‘retro,’ yang walau bagus dan cukup catchy namun sebenarnya kurang sesuai dengan karakter BRS. Sisi dubbing tak perlu dipertanyakan lagi karena direkruitnya banyak seiyuu ternama. Di antaranya terdapat Maaya Sakamoto dan Miyuki Nakajima.
Editor’s Tilt - 6,5
Segala kekurangan tadi bisa dimaklumi, karena BRS: The Game dirilis untuk sebuah handheld system, yang sifat dasarnya untuk dimainkan kapan saja dan umumnya dianggap berdurasi tak terlalu panjang. Kebanyakan penyuka RPG mungkin akan merasa bahwa game ini terlalu mudah. Pembelaan dan keberatan mungkin akan dikemukan oleh fans BRS, yang jamak untuk dimafhumi.
Terlebih dengan adanya bonus tersendiri yang pastinya cukup diburu dalam collector's edition atas game tersebut, yaitu sebuah figure rilisan terbatas dari Figma untuk karakter White Rock Shooter. Dikatakan juga bahwa game ini memiliki beberapa pilihan ending untuk ditemukan oleh gamer berdasar kondisi-kondisi tertentu.
Bisa dikatakan ImageEpoch berhasil menghadirkan sebuah RPG tradisional khas Jepang, namun tanpa membutuhkan banyak grinding atau pun berburu kenaikan level. Uniknya, sebagai sebuah RPG khas Jepang, game ini sangatlah singkat. Hanya membutuhkan waktu sekitar 12 jam untuk menyelesaikan keseluruhan game.
Sementara untuk tambahan misi sekaligus perpanjangan jalan cerita setelah sekali menamatkan game, yang dikatakan juga akan mengungkap ending sebenarnya, hanyalah berdurasi sekitar 5 hingga 10 jam. Jika merasa tertantang, dapatkanlah seluruh achievement, bukalah seluruh gallery item, dan habisilah karakter boss terakhir untuk mendapatkan penyelesaian secara 100%.
BRS: The Game bisa terlihat keren secara tampilan namun sayangnya tak begitu mumpuni sebagai game berkat singkatnya durasi permainan dan gameplay yang mudah. Untungnya, tak banyak yang menyulitkan dalam game ini jika berbicara mengenai kemampuan bahasa Jepang yang terbatas, karena objektif yang ada telah ditandai dengan jelas. (HKD)